INLINK, DEPOK | Jelang Pilkada Kota Depok, dukung mendukung calon yang digadang-gadang bakal maju ke pertarungan memperebutkan kursi empuk Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok kian marak, baik dilakukan oleh pribadi maupun organisasi masyarakat.
Terakhir, dukungan mengalir dari para ketua LPM aktif dan non aktif yang menyatakan komitmennya untuk mendukung Sekda Kota Depok yang masih aktif, Supian Suri (SS), untuk menjadi orang nomot satu Depok di pilkada nanti.
“Kami FK LPM Kota Depok masih solid dan berkomitmen untuk mendukung Pak Supian Suri maju sebagai Wali Kota Depok periode 2025-2030,” ujar Hidayat, Ketua FK LPM Kota Depok seperti dilansir Jurnal Depok, selasa (16/4/2024).
Ia menambahkan, bahwa jaringanya tetap solid hingga di tingkat RT/RW untuk mendukung Supian Suri di pilkada nanti.
“Bahkan di beberapa kelurahan sudah ada ada LPM yang deklarasi dan secara terang-terangan memasang baliho dukungan untuk Pak SS secara swadaya. Ini berarti Pak SS didukung dan dicintai masyarakat, bukan karena pribadi dan dukungan politik,” paparnya.
Supian Suri sendiri seperti diketahui masih berstatus sebaga Aparatur Sipil Negara (ASN) dan masih menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) di Pemerintah Kota (Pemkot) Depok.
Terkait hal tersebut, aktifis pers yang juga Ketua Forum Wartawan Jaya Indonesia (FWJI) Korwil Depok, Muhammad Iksan, turut angkat bicara.
“Dagelan itu!.” ujar pria yang akrab disapa bang San itu singkat saat dimintai pendapatnya oleh awak media.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa belum ada satupun partai politik yang mengusung SS secara terbuka. Kedua, jelasnya, ASN aktif saja sudah dilarang undang-undang untuk menjadi kontestan Pilkada.
Lebih rinci San mengulas adanya Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang telah mengatur itu semua.
Selain itu, pria yang diketahui aktif dalam setiap kegiatan sosial bermasyarakat ini juga mengulas adanya UU ASN telah mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 beserta peraturan pelaksanaannya.
“Hati-hatilah soal dukung mendukung ASN Sekda aktif menjadi Walikota. Meski ada asumsi beliau (SS.red) akan mundur dari jabatannya sebagai Sekda atau pensiun pada saatnya nanti, namun dukungan terbuka dari LPM ini juga dipertanyakan. Pertama dari sisi beliau sebagai Sekda dan kedua dari sisi hukum, jelas ini melanggar hukum!,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa LPM itu termasuk kedalam aparatur Desa/Kelurahan sebagaimana tertuang dalam PP No. 72/ 2005, di Bab IX dari mulai Pasal 89 sampai Pasal 97 mengenai lembaga kemasyarakatan yang dimaksud adalah RT, RW, PKK, Karang Taruna, LKMD/ LPM, dan atau sebutan lainnya.
Terkait dukungan LPM untuk salah seorang calon peserta Pilkada, San menyebut hal tersebut jelas melanggar hukum dan terancam pidana.
“Kita lihat undang-undangnya seperti apa bunyinya. Kemudian kita harus sama-sama melihat kalau netralitas itu penting, apalagi kalau sampai menggunakan jabatan untuk soal dukung-mendukung, bahaya itu!” tegasnya.
“Perangkat desa dilarang melakukan politik praktis. Regulasinya diatur dalam Pasal 280, 282, dan 490 UU No 7/2017 tentang Pemilu. Pelanggar bisa dipidana, baik penjara maupun denda,” tambahnya.
Adapun dalam Pasal 280 ayat (2), disebutkan bahwa perangkat desa termasuk ke dalam pihak yang dilarang diikutsertakan oleh pelaksana dan atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu. Selain tidak boleh diikutsertakan dalam kampanye, perangkat desa, sebagaimana dijelaskan dalam ayat (3) juga dilarang menjadi pelaksana dan tim kampanye pemilu.
Dalam Pasal 494 dijelaskan bahwa setiap aparatur sipil negara, anggota TNI dan Polri, kepala desa, perangkat desa, dan atau anggota badan permusyawaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud Pasal 280 ayat (3), dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.
Selanjutnya Pasal 282 memuat aturan tentang larangan pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa membuat keputusan dan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
“Sanksinya disebutkan dalam Pasal 490, yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp12 juta,” tutup San yang juga putera asli Depok ini.[]