Panglima TNI Beri Pernyataan Keras, Terkait Tewasnya Warga Aceh Akibat Dianiaya oleh Oknum Paspampres

INLINK,  Jakarta|Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memerintahkan agar anggotanya yang diduga menganiaya dan membunuh warga Aceh “dihukum berat”. Hal ini disampaikan melalui Kepala Pusat Penerangan TNI Laksma Julius Widjojono.

“Panglima TNI prihatin dan akan mengawal kasus ini agar pelaku dihukum berat maksimal hukuman mati, minimal hukuman seumur hidup,” katanya, sebagaimana dilaporkan Kompas, Senin (28/08).

Julius memastikan dengan tindak pidana berupa perencanaan pembunuhan, maka terduga pelaku yang diketahui bernama Praka RM akan dipecat dari TNI.

Sejauh ini, Praka RM masih ditangani Polisi Militer Kodam Jayakarta (Pomdam) Jaya. Praka RM diketahui sebagai anggota Ta Walis 3/311 Ki C Walis Yonwalprotneg Paspampres. Dalam aksinya, Praka RM dibantu dua rekan dari anggota TNI di kesatuan lainnya.

Berdasarkan keterangan Tempo, Imam dilaporkan diculik pada 12 Agustus 2023 silam. Sebelum dibawa dari toko yang ia jaga, Imam sempat dipukuli dan memicu kerumunan warga.

Disisi lain, Koalisi NGO Hak Asasi Manusia (HAM) Aceh mendesak TNI melakukan proses hukum secara terbuka terhadap anggotanya yang diduga menculik dan membunuh seorang warga Kabupaten Bireuen.

“Karena kita butuh, keluarga korban dan masyarakat juga, bahwa ketika proses hukum ini terbuka, dan bisa diakses masyarakat secara luas, ini bisa menunjukkan bahwa hukum itu tidak pandang bulu,” kata Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Khairil Arista, kepada BBC News Indonesia.

Keterbukaan proses hukum ini bisa menciptakan rasa keadilan bagi keluarga korban, termasuk mencegah kejadian serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.

“Karena ini akan berulang, ketika kekerasan itu tetap dibiarkan. Keberulangan itu kemudian berdampak buruk terhadap institutsi,” lanjut Khairil.

Seruan serupa disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan. Anggotanya, M Isnur dari YLBHI mendesak para terduga pelaku harus diadili di peradilan umum.

“Hal ini menjadi penting untuk memastikan proses hukumnya berlangsung dengan transparan dan akuntabel. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi dalam penyelesaian kasus ini sehingga keadilan bagi korban dan keluarganya dapat terpenuhi,” kata Isnur dalam keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia.

Koalisi mencatat peristiwa ini merupakan bukti aksi kekerasan dan kejahatan yang dilakukan oknum TNI belum berhenti.

Dalam catatan koalisi, sejumlah kasus dengan terduga pelaku anggota TNI justru memperoleh hukuman ringan atau dibebaskan.

“Misalnya adalah kasus penyerangan Lapas Cebongan, kasus pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Papua, Kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Eluay, Kasus korupsi pembelian helikopter AW-101,” kata Isnur, sambil menambahkan, “Peradilan militer selama ini cenderung menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang terlibat kejahatan.”

Koalisi juga mendesak adanya reformasi peradilan militer yang selama ini mereka sebut “tidak memenuhi peradilan yang jujur dan adil”.

“Kami juga mendesak Presiden dan DPR untuk segera melakukan reformasi peradilan militer diantaranya dengan merevisi UU Peradilan Militer dan tidak menunda-nundanya lagi.

Penundaan proses reformasi peradilan militer akan membuka ruang besar kembali berulangnya kejahatan dan kekerasan seperti dalam kasus Imam Masykur dan kasus lainnya,” kata Isnur.

Pos terkait