INLINK.ID, Banyuwangi | Hari Suci Galungan yang sangat sakral dan Istimewa karena bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 Nopember 2021 (10/11/2021) di sambut oleh umat Hindu seluruh Nusantara juga tak lepas bagi umat Hindu yang ada di Desa Bagorejo kecamatan Srono. Hari Suci Galungan adalah momentum yang sangat tepat untuk membangun ingatan secara kolektif.
Hari besar ini juga menggerakkan kesadaran umat Hindu agar mau meneladani dan mengimplementasikan nilai-nilai para leluhur dalam Dharma Agama & Dharma Negara yang mempunyai chemistry sangat kuat dengan Hari Suci Galungan. Hari ini juga dimaknai oleh umat Hindu sebagai simbol kemenangan Dharma (Kebaikan) melawan Adharma (Keburukan).
Umat Hindu harus memahami dengan benar Dharma Agama dan Dharma Negara. Dharma kepada negara adalah menjaga, membela menjunjung tinggi kehormatan negara dan selalu mengingat jasa para pahlawan sebagai Leluhur Bangsa. Dharma Agama berarti memantapkan SRADDA-BHAKTInya kepada leluhur dengan melaksanakan ajaran agama secara utuh dan berimbang sesuai ajaran Agama Hindhu. Dalam konsep Susastra Suci Hindu, ada enam yang harus dimusnahkan yang di sebut SAD RIPU yaitu, nafsu, ketamakan, kemarahan, kebingungan, kemabukan dan iri hati.
Hari Suci Galungan yang di peringati setiap 210 hari merupakan momen di mana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagad raya beserta seluruh isinya. Perayaan Galungan dimaksudkan agar seluruh umat Hindu mampu membedakan dorongan hidup antara adharma dan budhi atma (dharma/kebenaran) di dalam diri manusia.
Kemudian kebahagiaan dapat diraih tatkala memiliki kemampuan untuk menguasai kebenaran. Galungan sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya menang. Selain itu, kata Galungan juga memiliki makna yang serupa dengan Dungulan yang berarti menang. Galungan memberikan sebuah pemahaman bahwa niat dan usaha yang baik selalu akan menang, jika dibandingkan dengan niat dan usaha yang buruk.
Sejarah Hari Suci Galungan

Hari Suci Galungan dirayakan oleh umat Hindu Bali setiap 210 hari, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).
Hari raya Galungan juga dirayakan oleh masyarakat Tengger dengan makna dan cara yang berbeda dengan masyarakat Bali, setidaknya hingga introduksi agama Hindu Dharma ke kawasan Tengger tahun 1980-an. Masyarakat Tengger merayakan Galungan setiap 210 hari sekali di wuku galungan sebagai hari untuk memberkati desa, air, dan masyarakat.
Tatacara perayaannya identik dengan barikan, satu upacara lain yang biasanya dilakukan tiap 35 hari sekali atau setelah bencana seperti gunung meletus, gempa, atau gerhana. Berbeda dengan barikan, hari raya galungan Tengger sudah tidak dilaksanakan dengan cara Tengger namun telah disatukan dengan perayaan galungan sesuai tatacara Hindu Bali.
Pagi hari umat telah memulai upacara untuk Galungan ini. Dimulai dari persembahyangan di rumah masing-masing hingga ke Pura sekitar lingkungan. Tradisi yang kerap kita jumpai pada Galungan adalah Tradisi “Mudik”, umat yang berasal dari daerah lain, seperti perantauan akan menyempatkan diri untuk sembahyang ke daerah kelahirannya masing-masing.
Bagi umat yang memiliki anggota keluarga yang masih berstatus Makingsan di Pertiwi (mapendem/dikubur), maka umat tersebut wajib untuk membawakan banten ke kuburan dengan istilah Mamunjung ka Setra , banten tersebut terdiri atas punjung seperti telah disebutkan di atas, disertai tigasan/kain saperadeg (seadanya) dan air kumkuman (air bunga).

Mitologi
Dalam cerita mitologi Hindu Bali dikisahkan bahwa di Pulau Bali terdapat raksasa yang sangat sakti dan ditakuti oleh semua masyarakat. Raksasa itu bernama Mayadenawa. Mayadenawa melarang semua masyarakat hindu bali untuk melakukan persembahyangan ke pura untuk memuja dewa-dewa, karena Mayadenawa ingin semua masyarakat menyembahnya. Karena merasa sangat geram terhadap tingkah laku Mayadenawa tersebut, maka diutuslah Bhatara Indra untuk turun ke mercepade (Dunia) untuk menemui dan menghabisi raksasa Mayadenawa tersebut.
Diceritakan bahwa Ide Bhatara Indra sudah berada di sebuah tempat yang memiliki tingkat kemiringan yang cukup terjal, disanalah beliau berhasil menjumpai Mayadenawa. Ide Bhatara Indra mengatakan kepada Mayadenawa bahwa tindakannya salah dan tidak patut untuk dilakukan.
Namun Mayadenawa sangat angkuh dan sombong, bahkan dia mulai melawan. Karena melawan maka Ide Bhatara Indra pun bergegas menyerang Mayadenawa, karena kehebatan dan kesaktian yang dimiliki oleh Ide Bhatara Indra maka Mayadenawa kewalaham dibuatnya. Lalu ia berlari berusaha menjauhi Ide Bhatara Indra.