Soal JHT, Fahira Idris Minta Pemerintah Harus Tampung Aspirasi Publik

INLINK, Jakarta |  Kebijakan terbaru Program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan menjadi sorotan dan mendapat penolakan para buruh serta pekerja. Syarat pencairan uang JHT yang baru bisa dicairkan di usia 56 tahun, dinilai harus dievaluasi dengan melibatkan para buruh dan pekerja.


Salah satu alasan penolakan, publik menilai kebijakan yang ditetapkan melalui Peraturan Menaker Nomor 2 Tahun 2022. Di mana Permenaker itu mengatur tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT, yang berpotensi menyulitkan pekerja, terutama di tengah situasi pandemi dan ancaman PHK.

Bacaan Lainnya


Anggota DPD, Fahira Idris mengungkapkan, apapun kebijakan pemerintah, terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak apalagi terkait pengelolaan dana publik, wajib melibatkan publik luas dalam prosesnya atau tidak boleh diputuskan sepihak. Selain itu, sebuah kebijakan publik yang baik juga harus melihat situasi, kondisi, dan suasana kebatinan rakyat.


Saat ini, ia menilai dampak pandemi masih begitu besar dirasakan rakyat, terutama dari sisi ekonomi. Kebijakan JHT yang hanya bisa dicairkan 100 persen saat usia peserta BPJS Ketenagakerjaan mencapai 56 tahun tidak sesuai dengan situasi kebatinan pekerja yang rentan kehilangan pekerjaan di tengah pandemi.


“Saya meminta, Pemerintah berbesar hati mengevaluasi kebijakan JHT cair 100 persen di usia 56 tahun. Libatkan publik dalam proses penyusunan kebijakan. Apa yang diputuskan ini kan menyangkut dana milik publik sehingga dalam prosesnya harus melibatkan publik diantaranya pekerja atau buruh, tidak bisa hanya pemerintah sepihak. Banyak kalangan terutama pekerja yang terkejut dengan keputusan yang tiba-tiba ini,” ujar Fahira Idris di Jakarta, Senin (14/2/2022).


Menurut Fahira, peraturan pencairan manfaat JHT sebelumny, Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, langsung diberikan kepada peserta yang mengundurkan diri dan dibayarkan secara tunai setelah melewati masa tunggu 1 bulan adalah yang paling ideal. Di tengah situasi ekonomi yang belum stabil dan masih besarnya potensi terjadi PHK, aturan baru ini dinilai menyulitkan para pekerja untuk menggerakkan roda ekonomi keluarganya selepas di-PHK

Pos terkait