Terkait Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual AJI Ingatkan Jurnalis Harus Patuhi KEJ

INLINK, Jakarta | Banyak desakan menyusul masih adanya media yang menampilkan foto, profil penyintas kekerasan seksual serta menuliskan secara detail kronologi kekerasan tanpa melakukan konfirmasi dan persetujuan penyintas. Berita ini muncul setelah seorang penyintas mengungkapkan kekerasan seksual yang dialaminya, saat bekerja sebagai jurnalis Geotimes pada 2015 lalu.


Meskipun berita tersebut akhirnya diturunkan dari media yang bersangkutan, namun jejak digitalnya masih tetap tertinggal. Hal ini menambah beban trauma penyintas, termasuk para penyintas lain yang mengalami kasus serupa.


Pemberitaan semacam itu hanya satu dari sekian banyak praktik jurnalisme yang tidak berperspektif korban kekerasan seksual. Praktik lainnya yang srg AJI temui adalah penggunaan diksi pada kasus pemerkosaan seperti “menggagahi”, “meniduri”, “menggilir”, atau “menodai”. Diksi semacam itu telah menghilangkan unsur kejahatan bagi pelaku.


Media seharusnya tidak menjadikan kasus kekerasan seksual sebagai komoditas untuk mendulang klik kepentingan bagi media, tetapi mengedepankan peran untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 40/1999 ttg Pers..,Kode Etik Jurnalistik secara umum telah mengatur bagaimana jurnalis seharusnya bekerja:
Pasal 2: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik., Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.


Pasal 5: Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.


Pasal 8: Wartawan Indonesia tdk menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.


Himbauan AJI, Dalam konteks isu kekerasan seksual, empat pasal dalam KEJ itu jelas menekankan agar jurnalis tidak boleh memiliki niat secara sengaja untuk menimbulkan kerugian pihak lain. Jurnalis harus menghormati hak privasi penyintas kekerasan seksual, dan menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, dan suara.


Selain itu jurnalis juga tidak menyebutkan identitas atau informasi yang memudahkan orang lain untuk melacak penyintas. Sebab Media seharusnya menjadi ruang aman bagi penyintas kekerasan seksual, sehingga mereka berani bersuara tnp rasa khawatir soal kerahasiaan identitasnya. 


Sehingga dalam hal ini media dapat membantu penyintas mendapatkan keadilan dan mendorong kebijakan yang dapat mencegah dan menghapus perilaku kekerasan seksual.


Mengingat Indonesia berada dalam situasi darurat kekerasan seksual, maka pemberitaan yang mengabaikan KEJ, justru menjadikan korban kekerasan seksual sulit mendapat keadilan. Tidak hanya itu, praktik kekerasan seksual akan semakin menguat, termasuk di dunia kerja.


Berdasarkan latar belakang itu, AJI mendesak: 1). Jurnalis dan perusahaan media mematuhi UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Perusahaan dapat memberikan pendidikan etik untuk meningkatkan pengetahuan dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual dengan lebih berperspektif korban., 2). Perusahaan media menghindari penggunaan kasus dan korban kekerasan seksual sebagai komoditas dengan praktik clickbait untuk mengejar keuntungan semata., 3). Dewan Pers harus aktif untuk memantau & menegur media yang melanggar Kode Etik Jurnalistik saat memberitakan kasus kekerasan seksual.
Disamping itu, dewanpers perlu segera membuat Pedoman Peliputan Isu Kekerasan Seksual sehingga bisa menjadi panduan bagi jurnalis dalam melakukan peliputan kasus sensitif seperti ini.

Pos terkait