INLINK, Jakarta | Dunia olahraga sepakbola tanah air saat ini sedang menjadi sorotan publik Nasional dan Internasional. Pasalnya pada saat digelar Laga Liga 1 antara Arema dan Persebaya, dengan Skor akhir 2-3 untuk tim tamu Persebaya, terjadi kericuhan dan desak-desakan yang mengakibatkan ratusan nyawa melayang di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada Sabtu (1/10/2022).
Mengetahui hal tersebut, pakar hukum Yanto Jaya S.,H turut prihatin dan menyampaikan duka cita yang sangat mendalam terhadap para korban. Ia menjelaskan, Sepakbola Indonesia ini persoalan klasik, setelah selesai masa pandemi, masanya kita mulai keluar lagi untuk bisa bertemu orang banyak. Nah mulailah membuka ruang untuk orang berkumpul kembali.
“Dikarenakan sudah lama tidak berkumpul ini, kadang-kadang suasananya bisa nyaman, bisa tidak nyaman. Nah kemarin kita saksikan Sepakbola di malang itu tidak ada penonton dari Surabaya, kan tidak ada Bonek. Artinya antar sesama mereka aja gitu, nah persoalan pemicunya memang sampai saat ini masih abu-abu, belum jelas,” jelas Yanto Jaya di Kantor Hukumnya, Jalan Karet Pasar Baru Barat II, Nomor 5A, Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Minggu (2/10/2022).
Yanto Jaya menambah, cuma karena tidak terima dengan kekalahan itu, sehingga pelampiasan mereka kepada aparat kepolisian.
“Jadi bagaimana untuk memperbaikinya, pertama harus sesuaikan jumlah tiket dengan jumlah kapasitas tempat duduk, lebih dari itu jangan. Jangan sampai ada yang dipinggir lapangan atau diluar masih banyak antrian,” tegas Yanto.
Kuncinya sambung Yanto, adalah harga tiket dinaikkan saja. Supaya yang menonton itu bisa lebih tertib. Seperti kita ambil contoh tiket di olahraga Batminton, itu harganya RP600.000,- per satu hari, bayangkan Batminton itu kan 4-5 hari pertandingan, orang bisa mengeluarkan kocek per-orang bisa RP3.000.000,- untuk nonton Batminton.
“Jadi harga tiket Sepakbola, saran saya di naikkan saja, biar aman. Dan sesuaikan saja dari kapasitas Stadion itu, misalnya kapasitas Stadion 30.000 penonton, ya itu saja jangan dilebihkan,” kata Yanto Jaya.
Yanto Jaya berharap paska peristiwa Kanjuruhan, baik dari PSSI selaku penyelenggara, maupun dari pihak keamanan, akan mengevaluasi kembali mekanisme pertandingan laga sepakbola yang dilaksanakan secara langsung.
“Bila ditanya siapa yang salah dalam tragedi ini? semua pihak punya tanggungjawab. Baik dari PSSI, penyelenggara dan pihak keamanan harus turut prihatin untuk memperhatikan dan memberikan bantuan kepada para korban,” ucapnya.
Lebih lanjut Yanto Jaya menjelaskan, terkait Mekanisme Polisi dalam mengurai massa dengan gas air mata, walaupun ada pelarangan dari FIFA.
“Ya mau dengan cara apalagi, untuk menghalau massa sekian ribu banyaknya itu. Tapi bisa saja aparat kepolisian mengganti gas air mata dengan memakai water canon misalnya, agar tidak terlalu banyak korban,” imbuhnya.
Dan kata Yanto, apabila menurut kepolisian sudah ada indikasi akan terjadi kericuan, lebih baik tegas-tegas saja untuk menolak memberikan ijin.
“Kedepannya semoga peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi, harapan saya semua ini bisa jadi pembelajaran untuk kita semua, namanya pertandingan sudah pasti ada yang kalah dan menang, kita harus sportif menerimanya, untuk PSSI, penyelenggara dan kepolisan kedepannya, lebih jeli dan seksama membuat keputusan sebelum Laga pertandingan berlangsung,” pungkas Yanto Jaya. (fhm)